DASAR-DASAR HUKUM FIQIH MU’AMALAH
Disusun oleh Aim Najmudin, S.Sy
A. Pengertian
Hukum Fiqih Muamalah
Hukum menurut
Istilah usul fiqih, adalah :
خِطَابُ اللهِ اَلْمُتَعَلِّقُ
بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ طَلَبًا وَوَضْعًا
Khithob Allah yang yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan orang mukallaf baik baik perintahan (taklifi) dan pembakuan
(wadl’i).
adapun hukum menurut Fuqoha adalah sifat dari khitab itu seperti kewajiban sholat,
petunjuk untuk menuliskan hutang, keharaman berzina, kemakruhan jual-beli waktu
adzan jum’at, kebolehan berburu setelah tahalul dari haji, sebab kewajiban
dhuhur karena tergelincir matahari, terhalangnya pembunuh dari mendapat warisan
dari terbunuh.
Maka jelas dari definisi di atas bahwa hukum
terbagi dua yaitu hukumTaklifi dan hukum Wadl’i :
1). Hukum Taklifi ada lima macam yaitu :
- Ijab,
- Nadab,
-
Tahrim,
- Karohah,
- Takhyir,
|
pengaruhnya pada perbuatan adalah:
-
Wajib
-
Nadab
(sunat)
-
Haram,
-
Makruh
-
mubah
(ibahah).
-
|
Hukum Wadl’i adalah khithob Syar’i (titah Allah) yang berhubungan
dengan pekerjaan orang-orang mukallaf yang menjadikan sesuatu sebab, syarat,
atau mani’ disebut Khitob Wadlo’. Dan memasukan Al-Amudi kedalam khitob wadlo : khitob yang berhubungan dengan sesuatu itu shahih atau bathilazimahatau rukhsoh,
shohih atau fasid.
Maka khithab wadlo’ ada 6 yaitu
-
Sabab
-
Syarat
-
Mani’l
-
Azimah
-
Rukhshoh
-
Shihah/Shohih
-
Buthlan/fasid
Hukum menurut depinisi
lain adalah
كُلُّ مَا يُصْدِرُهُ ا لشَّارِعُ
لِلنَّاسِ مِنْ أَوَاَمِرِ وَنَظْمٍ عَمَلِيَّةٍ تُنَظِّمُ حَيَاتُهُمُ
الْاِجْتِمَاعِيَّةَ وَعَلَاقَتِهِمْ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ فِيْهَا وَتُحَدِّدُ
أَعْمَالَهُمْ وَتَصَرُّ فَاتِهِمْ
“Segala yang dikeluarkan (ditetapkan) Syara’
untuk manusia, baik berupa perintah maupun merupakan tata aturan alamiyah yang
menyusun kehidupan bermasyarakat dan hubungan mereka satu sama lain dan
membatasi tindak tanduk mereka.
Fiqih menurut bahasa
faham menurut istilah adalah :
اَلْـعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ اَلَّتِى طَرِيْقَتُهَا اَلإِجْتِهَادُ
Ilmu tentang hukum-hukum syara yang jalannya
dengan Ijtihad
Muamalah adalah “Hukum-hukum yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia
dengan sesamanya dalam masalah maliyah (harta benda) dan dalam masalah huquq
(hak-hak)”
Dalam
Fiqih Islam setiap kegiatan muamalah pada dasarnya diperbolehkan dan dibenarkan
sesuai dengan kaidah yang berlaku pada lapangan kegiatan muamalah, antara lain
kaidah berikut :
اَلْأَصْلُ فِى الْمُعَامَلَةِ اَلإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ دَلِيْلٌ عَلَى
تَحْرِيْمِهَا
Pada dasarnya segala bentuk muamalat
boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
اَيْنَمَا وُجِدَتِ الْمَصْلَحَةِ فَثَمَّ حُكْمُ اللهِ
Dimana saja terdapat kemaslahatan,
disana terdapat hukum Allah.
B.
Rukun
dan Syarat dalam Muamalah
Di dalam
aqad (kontrak/transaksi) ada unsur-unsur yang harus dipenuhi, di kalangan para
ulama unsur-unsur ini disebut rukun, yaitu:
1)
Para
pihak yang berakad (Aqid)
2)
Ada
objek akadnya (Ma’qud Alaih)
3)
Bentuk
akad yang tercermin dalam pernyataan yang menunjukkan kesepakatan (Shighat).
4)
Tujuan
akad, yang berupa:
a.
Perpindahan
pemilikan harta seperti jual beli, atau perpindahan manfaat harta seperti sewa
menyewa, pinjaman barang.
b.
Tujuan
akad yang berupa kerjasama seperti syirkah
ta’awuniyah (koperasi), modal dan usaha (mudharabah),
muzara’ah, musyaqah.
c.
Aqad
yang tujuannya memberikan kekuasaan, seperti wakalah (perwakilan/agen),
wasiyat,
d.
Aqad
yang tujuannya untuk pemeliharaan dan keamanan, wadiah (titipan).
Selain unsur-unsur aqad di atas, agar aqad itu
sah diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu :
1.
Para
pihak harus memenuhi kecakapan bertindak hukum (mukallaf).
2.
Barang
yang dijadikan objek aqad bukan barang yang haram.
3.
Di dalam
aqad tidak ada tipuan, tidak memadlaratkan, tidak ada riba dan judi.
4.
Bermanfaat.
5.
Ada
kesepakatan para pihak yang berakad.
6.
Memenuhi
persyaratan khusus setiap aqad sesuai dengan tujuan aqad.
Adapun aqad-aqad yang bisa dilaksanakan adalah :
1)
Jual
beli
2)
Sewa
menyewa
3)
Tanggungan
(kafalah)
4)
Perpindahan
hutang (hawalah)
5)
Gadai (rahn)
6)
Titipan (wadi’ah)
7)
Pinjaman
(I’arah)
8)
Hibah
(pemberian)
9)
Kerjasama
(syirkah)
a.
Modal
dan modal
b.
Modal
dan kerja
c.
Kerja
dan kerja
10)
Investasi
dalam pertanian dan pepohonan (muzara’ah dan musyaqah)
11)
Perwakilan
(wakalah)
12)
Pinjaman
barang yang habis sekali pakai (qardl)
13)
Perdamaian
(al-shulhu)
14)
Asuransi
(al-Takaful)
15)
Pesanan
barang (salam)
16)
Jual
beli berjangka waktu, kredit (murabahah)
17)
Sewa
beli (al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-
tamlik)
18)
Wasiat
19)
Wakaf
20)
Zakat,
infaq, shodaqoh
21)
Jual
beli dengan hak penjual untuk membeli kembali (ba’i wafa)
22)
Jual
beli mata uang untuk kebutuhan mendesak.
Suatu
transaksi dapat menjadi tidak sah bila terjadi salah satu (lebih) faktor-faktor
berikut :
(a)
Rukun
dan syarat Tidak terpenuhi
(b)
Terjadi Ta’alluq
(c)
Terjadi
“two in one”.
(1)
Rukun
dan Syarat
§
Pelaku
§
Objek
§
Ijab
kabul
Pelaku bisa penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pengupah
dan penerima upah. Bila tidak ada pelaku, maka tidak akan ada transaksi.
Yang menjadi objek transaksi bila berupa barang atau jasa. Objek
tersebut haruslah benar-benar secara sempurna dimiliki oleh salah satu pihak,
misal dalam jual beli, barang yang dijual itu harus milik dan dalam kekuasaan
si penjual. Kalau tidak demikian, akad menjadi batal.
Kemudian, dalam akad harus terjadi kesepakatan kedua pihak atau
ijab kabul sebagai wujud saling ridla. Ijab kabul bisa dilisankan bisa pula
dalam bentuk tulisan yang masing-masing pihak sudah memahami atau mengerti
seluruh isi tulisan tersebut.
Akad bisa pula menjadi batal apabila terjadi kekeliruan dalam
objek, terjadi paksaan oleh satu pihak, dan adanya unsur penipuan (tadlis).
Sementara dari sisi syarat juga harus terpenuhi, seperti pelaku
akad haruslah orang yang mukalaf (berakal dan sudah baligh). Syarat yang
menyangkut objek misalnya benda yang menjadi objek harus halal, milik si
penjual (dalam jual beli) dll.
(2)
Ta’alluq
Ta’alluq artinya
ketergantungan suatu akad pada akad yang lain, sehingga suatu akad tidak dapat
dilakukan apabila akad yang lain tidak terpenuhi.
Misal dalam transaksi bai’al-inah. Tuan Amir
hendak meminjam uang kepada Tuan Basar senilai Rp 1 juta. Tuan Amir punya mesin
cuci dan ia jual mesin cuci kepada Tuan Basar seharga Tuan Basar Rp 1 juta
secara kontan, dengan syarat Tuan Basar harus menjual kembali mesin cuci itu
kepada Tuan Amir seharga Rp 1,5 juta secara cicilan. Dalam transaksi ini, tidak
akan terjadi akad jual beli pertama, apabila Tuan Basar tidak mau menjual
kembali barang tersebut.
(3)
Two in
One
Yaitu suatu kondisi dimana suatu transaksi
diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang berlaku (shafqatan fi al-shafqah).
Transaksi
ini terjadi bila faktor-faktor berikut terpenuhi, yaitu : objek, pelaku dan
jangka waktunya sama. Bila tidak terpenuhi salah satunya, maka akad menjadi
sah. Contoh “two in one” adalah dalam
transaksi leasing (sewa beli/lease and
purchase). Transaksi tersebut menjadi gharar, akad mana yang berlaku,
sehingga diharamkan.
نَهٰى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِى صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
Rasulullah SAW melarang dua bentuk akad
sekaligus dalam satu akad.
C.
Prinsip-Prinsip dalam Bermuamalah
Ada
beberapa prinsip di dalam bermuamalah diantara sesama manusia sebagai aktivitas
ekonomi syariah yaitu :
a.
Kerelaan
(antaradlin)
b.
Saling
menguntungkan (al-ta’awun)
c.
Tanggung
jawab (al-masuliyah)
d.
Kemudahan
(al-Taesir)
e.
Administrasi
yang benar dan transaparan (al-Idariyah)
f.
Tanggung
jawab sosial (al-Takafful al-Ijtima’i)
g.
Kewirausahaan
(al-I’timad ‘ala nafsi), dan
h.
Kehati-hatian
(al-Ihtiyath).
Selain
itu ada kaidah-kaidah fiqih umum yang harus dipegang, yaitu :
1) Setiap perbuatan manusia dinilai dengan niat (al umuru bimaqoshidiha)
2)
Kesulitan
membawa kemudahan (al-masyaqah tajlibu al
taesir)
3) Yang meyakinkan tidak bisa hilang karena ada
yang meragukan (al-yaqin la yuzalu bi
al-syak)
4)
Setiap
kemadlaratan harus dihilangkan (al-dlarar
yuzalu)
5)
Adat
yang baik dapat dijadikan pegangan (al-adah
muhkamah)
Kaidah-kaidah fiqhiyyah umum di atas bisa
dijabarkan lebih jauh menjadi kaidah fiqhiyyahkhusus di dalam praktek usaha,
yaitu :
1.
Setiap
usaha dibolehkan kecuali yang dilarang;
2.
Dalam
setiap transaksi (aqad) yang dilihat adalah maksud dan tujuannya tidak
semata-mata kata-kata dan bentuk kalimatnya;
3.
Barangsiapa
mempercepat atau memperlambat menangkap peluang yang ada akan membawa
kegagalan;
4.
Menghindari
kesulitan dan bahaya didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatanan dan
kenyamanan;
5.
Semua
alokasi pengeluaran harus diperuntukkan bagi kemaslahatan rakyat;
6.
Sesuatu
yang apabila ketiadaannya menyebabkan kewajiban tidak terlaksana maka
mewujudkan sesuatu tersebut wajib hukumnya.
Dalam melakukan transaksi-transaksi ekonomi, Islam memberikan
beberapa prinsip yang harus diikuti oleh setiap muslim yang mukmin,
diantaranya:
a.
Larangan melakukan
aktivitas Maghrib
Aktivitas Maghrib
adalah:
§
Maisir (perjudian/pertaruhan)
§
Gharar (penipuan/samar):
seperti membeli ikan yang masih didalam kolam, menjual burung di udara, dll.
§
Riba (bunga)
Islam memandang riba (bunga) sebagai suatu kejahatan
ekonomi yang menimbulkan penderitaan masyarakat baik itu secara ekonomis, sosial maupun moral.
b.
Mengutamakan Jual Beli (Perdagangan)
Perhatikan:
§
Surat AI-Baqarah:275,
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
” ..Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba…”
§
Surat An-Nisa : 29;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم
بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَتَقْتُلُوا
أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka diantarakamu. Dan janganlah membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang
kepadamu.”
§
HR. Ahmad
أَحَلُّ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهٖ وَكُلِّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ
”Yang paling halal dimakan seorang hamba adalah
dari usahanya sendiri dan setiap jual beli yang baik”.
§
HR.
Tirmidhi dan Al Hakim;
التَّاجِرُ الصَّدُوْقُ يُحْشَرُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ
الصِّدِّيْقِبْنَ وَالشُّهَدَاءِ
“Perdagangan yang jujur dan terpercaya akan dikumpulkan
diakhirat bersَama-sama orang-orang shiddiq, dan para syuhada
..”
c.
Keadilan
Surat
An-Nahl : 90.
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي
الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari
perbuatan yang keji kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran,”
Dengan
demikian dalam setiap kegiatan ekonomi yang berlandaskan aturan Islam, harus
memperhatikan rasa keadilan, tidak boleh mendhalimi orang lain.
d.
Kebersamaan
dan Tolong Menolong
QS.
Al-Maidah:2;
وَتَعَاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan
kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong kamu dalam berbuat dosa dan
permusuhan.
e.
Saling
mendorong dan Meningkatkan Prestasi
QS. Al-Qoshos : 77:
وَابْتَغِ
فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِن كَمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ
إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Carilah
apa saja yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu di dunia dan berbuat baiklah
sebagaimana Allah telah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.”
QS.
Al-Jumu’ah:10 :
فَإِذَا قُضِيَتِ
الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا
اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan sholat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung
D.
Etika Bermuamalah Dalam Islam
Lapangan
muamalah itu demikian luas. Kita boleh bertransaksi apa saja sepanjang tidak melanggar
rambu-rambu syariat yang sudah ditetapkan. Maka kuncinya adalah fahami apa saja
yang dilarang, apa yang tidak boleh atau fahami etika-etika bisnis yang islami.
Setelah tahu rambu-rambunya, berkreasilah secara bebas.
Untuk
memahami etika bisnis kita harus memahami dahulu apa saja yang dilarang atau
apa saja yang di “haram’ kan dalam Islam.
1)
Haram
Dzatnya
Benda-benda
yang secara dzat haram (babi, khamar, bangkai, darah) tidak boleh
diperjualbelikan. Sehingga kita harus memastikan pembiayaan ke anggota tidak digunakan untuk membeli
barang-barang tersebut. Apabila usaha anggota tersebut (misal warungan)
terdapat aneka makanan halal tapi juga menjual barang haram (misal khamar).
Kita harus memberikan penjelasan bahwa dana kita harus digunakan untuk membeli
barang halal, dan anggota secara baik agar tidak menjual barang haram tersebut.
2)
Haram
Selain Dzatnya
a.
Melanggar
Prinsip “An Taradlin Minkum”
Tadlis
(Penipuan)
Etika
bisnis Islam melarang segala bentuk transaksi yang mengandung penipuan (tadlis). Setiap transaksi harus
didasarkan pada kerelaan antara dua pihak. Sehingga kedua pihak harus
mengetahui informasi secara berimbang tentang segala hal yang menyangkut
transaksi tersebut.
Tadlis terjadi
dalam empat hal :
(1)
Kuantitas, Misal
pedagang yang mengurangi takaran/timbangan, pedagang susu mencampuri dengan
air.
(2)
Kualitas, Misal
pedagang yang menyembunyikan cacat barangnya, atau penjual menjual barang bekas
(second) namun dinyatakan sebagai barang baru.
(3)
Harga,
Misal menjual barang dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari
harga pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual (Ghaban), contoh : tukang ojek menawarkan jasanya kepada penumpang
yang tidak tahu ongkos pasaran dengan ongkos yang tidak wajar (berlipat-lipat).
Pada saat kejadian si penumpang ridlo, tapi setelah ia tahu ongkos yang
sebenarnya ia akan merasa dibohongi (ditipu). Atau pembeli (biasanya bandar)
mencegat petani dari desa yang membawa buah-buahan untuk di jual ke pasar, si
petani tidak tahu harga pasaran yang sebenarnya, sementara si pembeli
membelinya di tengah jalan dengan harga yang lebih rendah. Hal ini pun sudah
termasuk penipuan (tadlis).lain
halnya bila si petani sudah tahu harga di pasar.
(4)
Waktu
penyerahan. Contoh, petani buah yang menjual buah di luar musimnya padahal ia
tahu bahwa ia tidak dapat menyerahkan buah yang dijanjikannya itu pada
waktunya.
b.
Melanggar
prinsip “La Tadhlimuna wa Tudhlamun”.
Prinsip
ini bermakna jangan mendholimi dan jangan didholimi. Prinsip ini dilanggar pada
praktek-praktek sebagai berikut:
(1)
Taghrir(Gharar). Yakni situasi dimana terjadi
ketidaklengkapan informasi karena adanya ketidakpastian mengetahui informasi
sedang pihak lain tidak tahu (pihak yang tahu tidak member tahu kepada pihak
yang tidak tahu). Kalau pada taghrir,
kedua pihak sama-sama tidak memiliki kepastian tentang sesuatu yang
ditransaksikan.
Sama
seperti tadlis, gharar pun terjadi pada kuantitas, kualitas, harga dan waktu
penyerahan. Pada kuantitas, terjadi seperti pada sistem ijon dan kegiatan
memancing ikan dimana si pemancing dipatok biaya mancing sekian rupiah dengan
hasil pancingan semampunya ia dapat. Baik ijon maupun memancing dengan cara
tersebut mengandung ketidakpastian hasil. Gharar
pada kualitas, seperti peternak yang menjual anak sapi yang masih dalm
kandungan induknya, atau istilah populernya kucing dalam karung. Gharar pada
harga, terjadi pada stau transaksi dengan dua harga, dalam arti seperti contoh,
BMT menjual komputer seharga Rp 5 juta tunai, dan Rp 6 juta diangsur, kemudian
pembeli menyetujui keduanya. Disini terjadi ketidakpastian, mana harga yang
sebenarnya. Namun kalau si pembeli menyatakan dengan jelas ia memilih yang yang diangsur dulu lalu akad membeli dengan
Rp 6 juta diangsur, makatidak ada gharar. Gharar pada waktu penyerahan, seperti
seorang menjual handphone yang hilang seharga Rp x dandisetujui pembeli.
Terjadi gharar karena keduanya sama-sama
tidak tahu kapan HP tersebut akan diketemukan. Atau menjual cincin emas dengan
harga murah, yang jatuh ke dalam sungai atau danau.
(2)
Rekayasa
Pasar dalam Penawaran (Ikhtikar). Terjadi bila si penjual/produsen mengambil
keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi penawaran agar
harga produk yang dijualnya naik. Suatu penimbunan barang dapat disebut
ikhtikar yang diharamkan apabila memenuhi tiga unsur: (1) mengupayakan adanya
kelangkaan barang baik dengan cara menimbun persediaan atau menghambat
kelancaran barang. (2) Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan
harga sebelum munculnya kelangkaan (3) Mengambil keuntungan yang lebih
dibandingkan keuntungan sebelum yang pertama dan yang kedua dilakukan.
(3)
Rekayasa
Pasar dalam permintaan (Bai’Najasy).
Terjadi bila produsen/penjual menciptakan permintaan palsu seolah-olah ada
banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga menciptakan sentimen pasar dan
harga menjadi naik.
(4)
Riba.
Secara sederhana, Sayyid Sabiq mengemukaka dua (2) jenis riba, yaitu :
a.
Riba Nasi’ah, yaitu pertambahan bersyarat
yang diperoleh orang yang menghutangkan dari orang yang berhutang karena adanya
penangguhan waktu pembayaran.
b.
Riba Fadl, yaitu riba yang terjadi pada
barang-barang ribawi. Barang-barang ribawi adalah : emas dan perak (kelompok
mata uang), dan gandum, kurma, beras, garam dll.(kelompok makanan pokok).
Barang-barang
ini apabila saling diperlukan akan terjadi riba apabila :
a.
Tukar
menukar barang dalam satu kelompok dan satu jenis (misal emas dengan emas atau
gandum dengan gandum) dilakukan saling melebihkan (tafadlul) dan bertempo (nasi’ah)
atau tidak dari tangan ke tangan (yadan
bi yadin). Contoh 1 kg beras ditukar dengan 2 kg beras lainnya.
b.
Tukar
menukar barang dalam satu kelompok tapi beda jenis (emas dengan perak, atau
gandum dengan beras), dilakukan secara bertempo (nasi’ah) atau tidak dari tangan ke tangan (yadan bi yadin) meskipun boleh saling melebihkan (tafadlul).
Maka
agar tidak terjerumus ke dalam riba, tukar menukar barang ribawi diperbolehkan
apabila :
a)
Persamaan
kuantitas (sawa-an bi sawa-in) tanpa
memperhatikan kualitas. Barang satu jenis dan satu kelompok tidak saling
melebihkan dan tidak bertempo. Rasulullah pernah melarang seorang sahabat yang
menukarkan kurma lokal dengan kurma luar kualitas baik, secara saling
melebihkan, Beliau SAW menyuruh sahabat itu menjual terlebih dahulu kurma lokal
berkualitas rendah, dan uangnya baru dibelikan kurma luar kualitas baik. Jadi,
masalah kualitas tidak menjadi ukuran.
b)
Barang
satu kelompok tapi berbeda jenis, boleh saling melebihkan tapi harus dari
tangan ke tangan (tunai/yadan bi yadin).
c)
Berbeda
kelompok, boleh tafadlul dan boleh nasi’ah.
Dalam
lembaga keuangan konvensional, riba nasi’ah terdapat pada pembayaran bunga
kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dll. Pihak lembaga, mensyaratkan
kepada peminjam untuk membayar bunga yang besarnya ditetapkan terlebih dahulu
di awal transaksi, padahal si peminjam tidak mendapatkan keuntungan yang pasti,
yang bisa untung, rugi ataupun impas.
Sementara
menurut Afzalur Rahman, sesuatu dikatakan riba apabila mengandung tiga unsur .
a.
Biaya
atau kelebihan dan kelebihan atas modal pinjaman
b.
Ketentuan
besarnya tambahan dikaitkan dengan jangka waktu
c.
Tawar
menawar mengenai syarat pembayaran tentang besarnya kelebihan uang dilakukan
pada kreditor.
Riba itu
sendiri dalam Al-Qur’an dilarang secara bertahap, disesuaikan dengan kondisi
masyarakat arab waktu itu:
Tahap Pertama
Menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada lahirnya seakan-akan
menolong mereka yang membutuhkan, dan sebagai media taqarrub kepada Allah.
Tahap Kedua
Riba digambarkan sebagai suatu hal yang buruk, dan Allah mengancam
akan memberikan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Tahap Ketiga
Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Karena pada masa itu, bunga pinjaman yang sangat tinggi
dibebankan kepada mereka yang tidak mampu membayar pada waktunya.
Tahap Keempat
Dengan jelas dan tegas Allah mengharamkan apapun jenis tambahan
yang diambil dari pinjaman, dan Allah menyatakan perang terhadap para pengambil
riba. Dapat dilihat pada QS. Al-Baqarah:278-279.
يَآأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم
مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ
وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ
تُظْلَمُونَ {279}
Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Alllah dan tinggalkanlah
sisa riba {yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa-sisa riba) maka ketahuilah bahwa
Allah dan Rosulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
riba)) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya
(5)
Maysir
(perjudian). Yaitu suatu permainan yang memposisikan salah satu pihak harus
menanggung beban pihak lain akibat permainan tersebut. Setiap permainan atau
transaksi yang mengandung unsur zero sum
game yang satu untung yang lain rugi/kalah dilarang dalam Islam.
(6)
Risywah (suap
menyuap) yaitu memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu
yang bukan haknya dan orang lain yang berhak menjadi hilang haknya. Risywah
terjadi meskipun dengan kerelaan masing-masing pihak. Namun, jika satu pihak
dipaksa untuk memberikan sesuatu agar apa yang menjadi haknya segera didapat,
tidak tersebut sebagai risywah, tapi tindak pemerasan. Termasuk suap-menyuap
adalah pemberian hadiah kepada pejabat yang kalau pihak yang diberi bukan
pejabat, ia tidak akan mau memberikan hadiah itu. Demikian juga dengan
pengelola BMT, pemberian hadiah dari
nasabah bisa disebut sebagai tindakan risywah (baik sebelum atau sesudah
pencairan pembiayaan), karena kalau ia bukan karyawan BMT, nasabah biasanya
tidak akan memberikan apapun.
3)
Haram
Karena tidak Sah/Lengkap Akadnya
Suatu
transaksi belum tentu halal meskipun tidak haram secara dzati dan tidak haram
secara bukan dzati (haram li ghairihi), karena ada kemungkinan haram dari sisi
ketidaksahan atau ketidaklengakapan akadnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar