Kamis, 30 Juni 2016

DASAR-DASAR HUKUM FIQIH MUAMALAH



DASAR-DASAR HUKUM FIQIH MU’AMALAH
Disusun oleh Aim Najmudin, S.Sy
A.       Pengertian Hukum Fiqih Muamalah
Hukum menurut Istilah usul fiqih, adalah :
خِطَابُ اللهِ اَلْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ طَلَبًا وَوَضْعًا
Khithob Allah yang yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf baik baik perintahan (taklifi) dan pembakuan (wadl’i).
adapun hukum menurut Fuqoha adalah sifat dari khitab itu seperti kewajiban sholat, petunjuk untuk menuliskan hutang, keharaman berzina, kemakruhan jual-beli waktu adzan jum’at, kebolehan berburu setelah tahalul dari haji, sebab kewajiban dhuhur karena tergelincir matahari, terhalangnya pembunuh dari mendapat warisan dari terbunuh.
Maka jelas dari definisi di atas bahwa hukum terbagi dua yaitu hukumTaklifi dan hukum Wadl’i :
1). Hukum Taklifi ada lima macam yaitu :
- Ijab,
- Nadab,
- Tahrim,
-  Karohah,
- Takhyir,
pengaruhnya pada perbuatan adalah:
-          Wajib
-           Nadab (sunat)
-          Haram,
-          Makruh
-           mubah (ibahah).
-           
Hukum Wadl’i adalah khithob Syar’i (titah Allah) yang berhubungan dengan pekerjaan orang-orang mukallaf yang menjadikan sesuatu sebab, syarat, atau mani’ disebut Khitob Wadlo’. Dan memasukan Al-Amudi kedalam khitob wadlo : khitob  yang berhubungan dengan sesuatu itu shahih atau bathilazimahatau rukhsoh, shohih atau fasid.
Maka khithab wadlo’ ada 6 yaitu
-          Sabab
-          Syarat
-          Mani’l
-          Azimah
-          Rukhshoh
-          Shihah/Shohih
-          Buthlan/fasid
Hukum menurut depinisi lain adalah
كُلُّ مَا يُصْدِرُهُ ا لشَّارِعُ لِلنَّاسِ مِنْ أَوَاَمِرِ وَنَظْمٍ عَمَلِيَّةٍ تُنَظِّمُ حَيَاتُهُمُ الْاِجْتِمَاعِيَّةَ وَعَلَاقَتِهِمْ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ فِيْهَا وَتُحَدِّدُ أَعْمَالَهُمْ وَتَصَرُّ فَاتِهِمْ
“Segala yang dikeluarkan (ditetapkan) Syara’ untuk manusia, baik berupa perintah maupun merupakan tata aturan alamiyah yang menyusun kehidupan bermasyarakat dan hubungan mereka satu sama lain dan membatasi tindak tanduk mereka.
Fiqih menurut bahasa faham menurut istilah adalah :
اَلْـعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ اَلَّتِى طَرِيْقَتُهَا اَلإِجْتِهَادُ
Ilmu tentang hukum-hukum syara yang jalannya dengan Ijtihad
Muamalah adalah “Hukum-hukum yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia dengan sesamanya dalam masalah maliyah (harta benda) dan dalam masalah huquq (hak-hak)”  
Dalam Fiqih Islam setiap kegiatan muamalah pada dasarnya diperbolehkan dan dibenarkan sesuai dengan kaidah yang berlaku pada lapangan kegiatan muamalah, antara lain kaidah berikut :
اَلْأَصْلُ فِى الْمُعَامَلَةِ اَلإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
اَيْنَمَا وُجِدَتِ الْمَصْلَحَةِ فَثَمَّ حُكْمُ اللهِ
Dimana saja terdapat kemaslahatan, disana terdapat hukum Allah.
B.     Rukun dan Syarat dalam Muamalah
Di dalam aqad (kontrak/transaksi) ada unsur-unsur yang harus dipenuhi, di kalangan para ulama unsur-unsur ini disebut rukun, yaitu:
1)        Para pihak yang berakad (Aqid)
2)        Ada objek akadnya (Ma’qud Alaih)
3)        Bentuk akad yang tercermin dalam pernyataan yang menunjukkan kesepakatan (Shighat).
4)        Tujuan akad, yang berupa:
a.         Perpindahan pemilikan harta seperti jual beli, atau perpindahan manfaat harta seperti sewa menyewa, pinjaman barang.
b.        Tujuan akad yang berupa kerjasama seperti syirkah ta’awuniyah (koperasi), modal dan usaha (mudharabah), muzara’ah, musyaqah.
c.         Aqad yang tujuannya memberikan kekuasaan, seperti wakalah (perwakilan/agen), wasiyat,
d.        Aqad yang tujuannya untuk pemeliharaan dan keamanan, wadiah (titipan).

Selain unsur-unsur aqad di atas, agar aqad itu sah diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu :
1.         Para pihak harus memenuhi kecakapan bertindak hukum (mukallaf).
2.         Barang yang dijadikan objek aqad bukan barang yang haram.
3.         Di dalam aqad tidak ada tipuan, tidak memadlaratkan, tidak ada riba dan judi.
4.         Bermanfaat.
5.         Ada kesepakatan para pihak yang berakad.
6.         Memenuhi persyaratan khusus setiap aqad sesuai dengan tujuan aqad.
Adapun aqad-aqad yang bisa dilaksanakan adalah :
1)        Jual beli
2)        Sewa menyewa
3)        Tanggungan (kafalah)
4)        Perpindahan hutang (hawalah)
5)        Gadai (rahn)
6)        Titipan (wadi’ah)
7)        Pinjaman (I’arah)
8)        Hibah (pemberian)
9)        Kerjasama (syirkah)
a.         Modal dan modal
b.         Modal dan kerja
c.         Kerja dan kerja
10)    Investasi dalam pertanian dan pepohonan (muzara’ah dan musyaqah)
11)    Perwakilan (wakalah)
12)    Pinjaman barang yang habis sekali pakai (qardl)
13)    Perdamaian (al-shulhu)
14)    Asuransi (al-Takaful)
15)    Pesanan barang (salam)
16)    Jual beli berjangka waktu, kredit (murabahah)
17)    Sewa beli (al-Ijarah al-Muntahiyah bi al- tamlik)
18)    Wasiat
19)    Wakaf
20)    Zakat, infaq, shodaqoh
21)    Jual beli dengan hak penjual untuk membeli kembali (ba’i wafa)
22)    Jual beli mata uang untuk kebutuhan mendesak.

Suatu transaksi dapat menjadi tidak sah bila terjadi salah satu (lebih) faktor-faktor berikut :
(a)      Rukun dan syarat Tidak terpenuhi
(b)     Terjadi Ta’alluq
(c)      Terjadi “two in one”.

(1)       Rukun dan Syarat
§  Pelaku
§  Objek
§  Ijab kabul
Pelaku bisa penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pengupah dan penerima upah. Bila tidak ada pelaku, maka tidak akan ada transaksi.
Yang menjadi objek transaksi bila berupa barang atau jasa. Objek tersebut haruslah benar-benar secara sempurna dimiliki oleh salah satu pihak, misal dalam jual beli, barang yang dijual itu harus milik dan dalam kekuasaan si penjual. Kalau tidak demikian, akad menjadi batal.
Kemudian, dalam akad harus terjadi kesepakatan kedua pihak atau ijab kabul sebagai wujud saling ridla. Ijab kabul bisa dilisankan bisa pula dalam bentuk tulisan yang masing-masing pihak sudah memahami atau mengerti seluruh isi tulisan tersebut.
Akad bisa pula menjadi batal apabila terjadi kekeliruan dalam objek, terjadi paksaan oleh satu pihak, dan adanya unsur penipuan (tadlis).
Sementara dari sisi syarat juga harus terpenuhi, seperti pelaku akad haruslah orang yang mukalaf (berakal dan sudah baligh). Syarat yang menyangkut objek misalnya benda yang menjadi objek harus halal, milik si penjual (dalam jual beli) dll.
(2)      Ta’alluq
Ta’alluq artinya ketergantungan suatu akad pada akad yang lain, sehingga suatu akad tidak dapat dilakukan apabila akad yang lain tidak terpenuhi.
Misal dalam transaksi bai’al-inah. Tuan Amir hendak meminjam uang kepada Tuan Basar senilai Rp 1 juta. Tuan Amir punya mesin cuci dan ia jual mesin cuci kepada Tuan Basar seharga Tuan Basar Rp 1 juta secara kontan, dengan syarat Tuan Basar harus menjual kembali mesin cuci itu kepada Tuan Amir seharga Rp 1,5 juta secara cicilan. Dalam transaksi ini, tidak akan terjadi akad jual beli pertama, apabila Tuan Basar tidak mau menjual kembali barang tersebut.
(3)      Two in One
Yaitu suatu kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang berlaku (shafqatan fi al-shafqah).
Transaksi ini terjadi bila faktor-faktor berikut terpenuhi, yaitu : objek, pelaku dan jangka waktunya sama. Bila tidak terpenuhi salah satunya, maka akad menjadi sah. Contoh “two in one” adalah dalam transaksi leasing (sewa beli/lease and purchase). Transaksi tersebut menjadi gharar, akad mana yang berlaku, sehingga diharamkan.
نَهٰى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِى صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
Rasulullah SAW melarang dua bentuk akad sekaligus dalam satu akad.

C.     Prinsip-Prinsip  dalam Bermuamalah
Ada beberapa prinsip di dalam bermuamalah diantara sesama manusia sebagai aktivitas ekonomi syariah yaitu :
a.    Kerelaan (antaradlin)
b.    Saling menguntungkan (al-ta’awun)
c.    Tanggung jawab (al-masuliyah)
d.    Kemudahan (al-Taesir)
e.    Administrasi yang benar dan transaparan (al-Idariyah)
f.     Tanggung jawab sosial (al-Takafful al-Ijtima’i)
g.    Kewirausahaan (al-I’timad ‘ala nafsi), dan
h.    Kehati-hatian (al-Ihtiyath).

Selain itu ada kaidah-kaidah fiqih umum yang harus dipegang, yaitu :
1)      Setiap perbuatan manusia dinilai dengan niat (al umuru bimaqoshidiha)
2)      Kesulitan membawa kemudahan (al-masyaqah tajlibu al taesir)
3)      Yang meyakinkan tidak bisa hilang karena ada yang meragukan (al-yaqin la yuzalu bi al-syak)
4)      Setiap kemadlaratan harus dihilangkan (al-dlarar yuzalu)
5)      Adat yang baik dapat dijadikan pegangan (al-adah muhkamah)

Kaidah-kaidah fiqhiyyah umum di atas bisa dijabarkan lebih jauh menjadi kaidah fiqhiyyahkhusus di dalam praktek usaha, yaitu :
1.      Setiap usaha dibolehkan kecuali yang dilarang;
2.      Dalam setiap transaksi (aqad) yang dilihat adalah maksud dan tujuannya tidak semata-mata kata-kata dan bentuk kalimatnya;
3.      Barangsiapa mempercepat atau memperlambat menangkap peluang yang ada akan membawa kegagalan;
4.      Menghindari kesulitan dan bahaya didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatanan dan kenyamanan;
5.      Semua alokasi pengeluaran harus diperuntukkan bagi kemaslahatan rakyat;
6.      Sesuatu yang apabila ketiadaannya menyebabkan kewajiban tidak terlaksana maka mewujudkan sesuatu tersebut wajib hukumnya.
Dalam melakukan transaksi-transaksi ekonomi, Islam memberikan beberapa prinsip yang harus diikuti oleh setiap muslim yang mukmin, diantaranya:
a.         Larangan melakukan aktivitas Maghrib
Aktivitas Maghrib adalah:
§  Maisir (perjudian/pertaruhan)
§  Gharar (penipuan/samar): seperti membeli ikan yang masih didalam kolam, menjual burung di udara, dll.
§  Riba (bunga)
Islam memandang riba (bunga) sebagai suatu kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan masyarakat baik itu secara ekonomis, sosial maupun moral.
b.        Mengutamakan  Jual Beli (Perdagangan)
Perhatikan:
§  Surat AI-Baqarah:275,
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
  ..Dan Allah telah  menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
§  Surat An-Nisa : 29;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَتَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantarakamu. Dan janganlah membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”
§  HR. Ahmad
أَحَلُّ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهٖ وَكُلِّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ
Yang paling halal dimakan seorang hamba adalah dari usahanya sendiri dan setiap jual beli yang baik”.
§  HR. Tirmidhi dan Al Hakim;
التَّاجِرُ الصَّدُوْقُ يُحْشَرُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الصِّدِّيْقِبْنَ وَالشُّهَدَاءِ
 “Perdagangan yang jujur dan terpercaya akan dikumpulkan diakhirat bersَama-sama orang-orang shiddiq, dan para syuhada ..”
c.         Keadilan
Surat An-Nahl : 90.
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan yang keji kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran,”

Dengan demikian dalam setiap kegiatan ekonomi yang berlandaskan aturan Islam, harus memperhatikan rasa keadilan, tidak boleh mendhalimi orang lain.
d.        Kebersamaan dan Tolong Menolong
QS. Al-Maidah:2;
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong kamu dalam berbuat dosa dan permusuhan.
e.         Saling mendorong dan Meningkatkan Prestasi
QS. Al-Qoshos : 77:
وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
 “Carilah apa saja yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu di dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
QS. Al-Jumu’ah:10 :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung



D.     Etika Bermuamalah Dalam Islam
Lapangan muamalah itu demikian luas. Kita boleh bertransaksi apa saja sepanjang tidak melanggar rambu-rambu syariat yang sudah ditetapkan. Maka kuncinya adalah fahami apa saja yang dilarang, apa yang tidak boleh atau fahami etika-etika bisnis yang islami. Setelah tahu rambu-rambunya, berkreasilah secara bebas.
Untuk memahami etika bisnis kita harus memahami dahulu apa saja yang dilarang atau apa saja yang di “haram’ kan dalam Islam.
1)        Haram Dzatnya
Benda-benda yang secara dzat haram (babi, khamar, bangkai, darah) tidak boleh diperjualbelikan. Sehingga kita harus memastikan pembiayaan  ke anggota tidak digunakan untuk membeli barang-barang tersebut. Apabila usaha anggota tersebut (misal warungan) terdapat aneka makanan halal tapi juga menjual barang haram (misal khamar). Kita harus memberikan penjelasan bahwa dana kita harus digunakan untuk membeli barang halal, dan anggota secara baik agar tidak menjual barang haram tersebut.
2)        Haram Selain Dzatnya
a.    Melanggar Prinsip “An Taradlin Minkum”
Tadlis (Penipuan)
Etika bisnis Islam melarang segala bentuk transaksi yang mengandung penipuan (tadlis). Setiap transaksi harus didasarkan pada kerelaan antara dua pihak. Sehingga kedua pihak harus mengetahui informasi secara berimbang tentang segala hal yang menyangkut transaksi tersebut.
Tadlis terjadi dalam empat hal :
(1)     Kuantitas, Misal pedagang yang mengurangi takaran/timbangan, pedagang susu mencampuri dengan air.
(2)     Kualitas, Misal pedagang yang menyembunyikan cacat barangnya, atau penjual menjual barang bekas (second) namun dinyatakan sebagai barang baru.
(3)     Harga, Misal menjual barang dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual (Ghaban), contoh : tukang ojek menawarkan jasanya kepada penumpang yang tidak tahu ongkos pasaran dengan ongkos yang tidak wajar (berlipat-lipat). Pada saat kejadian si penumpang ridlo, tapi setelah ia tahu ongkos yang sebenarnya ia akan merasa dibohongi (ditipu). Atau pembeli (biasanya bandar) mencegat petani dari desa yang membawa buah-buahan untuk di jual ke pasar, si petani tidak tahu harga pasaran yang sebenarnya, sementara si pembeli membelinya di tengah jalan dengan harga yang lebih rendah. Hal ini pun sudah termasuk penipuan (tadlis).lain halnya bila si petani sudah tahu harga di pasar.
(4)     Waktu penyerahan. Contoh, petani buah yang menjual buah di luar musimnya padahal ia tahu bahwa ia tidak dapat menyerahkan buah yang dijanjikannya itu pada waktunya.
b.    Melanggar prinsip “La Tadhlimuna wa Tudhlamun”.
Prinsip ini bermakna jangan mendholimi dan jangan didholimi. Prinsip ini dilanggar pada praktek-praktek sebagai berikut:
(1)     Taghrir(Gharar). Yakni situasi dimana terjadi ketidaklengkapan informasi karena adanya ketidakpastian mengetahui informasi sedang pihak lain tidak tahu (pihak yang tahu tidak member tahu kepada pihak yang tidak tahu). Kalau pada taghrir, kedua pihak sama-sama tidak memiliki kepastian tentang sesuatu yang ditransaksikan.
Sama seperti tadlis, gharar pun terjadi pada kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan. Pada kuantitas, terjadi seperti pada sistem ijon dan kegiatan memancing ikan dimana si pemancing dipatok biaya mancing sekian rupiah dengan hasil pancingan semampunya ia dapat. Baik ijon maupun memancing dengan cara tersebut mengandung ketidakpastian hasil. Gharar pada kualitas, seperti peternak yang menjual anak sapi yang masih dalm kandungan induknya, atau istilah populernya kucing dalam karung. Gharar pada harga, terjadi pada stau transaksi dengan dua harga, dalam arti seperti contoh, BMT menjual komputer seharga Rp 5 juta tunai, dan Rp 6 juta diangsur, kemudian pembeli menyetujui keduanya. Disini terjadi ketidakpastian, mana harga yang sebenarnya. Namun kalau si pembeli menyatakan dengan jelas ia memilih yang  yang diangsur dulu lalu akad membeli dengan Rp 6 juta diangsur, makatidak ada gharar. Gharar pada waktu penyerahan, seperti seorang menjual handphone yang hilang seharga Rp x dandisetujui pembeli. Terjadi gharar karena keduanya sama-sama tidak tahu kapan HP tersebut akan diketemukan. Atau menjual cincin emas dengan harga murah, yang jatuh ke dalam sungai atau danau.
(2)     Rekayasa Pasar dalam Penawaran (Ikhtikar). Terjadi bila si penjual/produsen mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi penawaran agar harga produk yang dijualnya naik. Suatu penimbunan barang dapat disebut ikhtikar yang diharamkan apabila memenuhi tiga unsur: (1) mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun persediaan atau menghambat kelancaran barang. (2) Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum munculnya kelangkaan (3) Mengambil keuntungan yang lebih dibandingkan keuntungan sebelum yang pertama dan yang kedua dilakukan.
(3)     Rekayasa Pasar dalam permintaan (Bai’Najasy). Terjadi bila produsen/penjual menciptakan permintaan palsu seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga menciptakan sentimen pasar dan harga menjadi naik.
(4)     Riba. Secara sederhana, Sayyid Sabiq mengemukaka dua (2) jenis riba, yaitu :
a.         Riba Nasi’ah, yaitu pertambahan bersyarat yang diperoleh orang yang menghutangkan dari orang yang berhutang karena adanya penangguhan waktu pembayaran.
b.         Riba Fadl, yaitu riba yang terjadi pada barang-barang ribawi. Barang-barang ribawi adalah : emas dan perak (kelompok mata uang), dan gandum, kurma, beras, garam dll.(kelompok makanan pokok).
Barang-barang ini apabila saling diperlukan akan terjadi riba apabila :
a.       Tukar menukar barang dalam satu kelompok dan satu jenis (misal emas dengan emas atau gandum dengan gandum) dilakukan saling melebihkan (tafadlul) dan bertempo (nasi’ah) atau tidak dari tangan ke tangan (yadan bi yadin). Contoh 1 kg beras ditukar dengan 2 kg beras lainnya.
b.      Tukar menukar barang dalam satu kelompok tapi beda jenis (emas dengan perak, atau gandum dengan beras), dilakukan secara bertempo (nasi’ah) atau tidak dari tangan ke tangan (yadan bi yadin) meskipun boleh saling melebihkan (tafadlul).
Maka agar tidak terjerumus ke dalam riba, tukar menukar barang ribawi diperbolehkan apabila :
a)      Persamaan kuantitas (sawa-an bi sawa-in) tanpa memperhatikan kualitas. Barang satu jenis dan satu kelompok tidak saling melebihkan dan tidak bertempo. Rasulullah pernah melarang seorang sahabat yang menukarkan kurma lokal dengan kurma luar kualitas baik, secara saling melebihkan, Beliau SAW menyuruh sahabat itu menjual terlebih dahulu kurma lokal berkualitas rendah, dan uangnya baru dibelikan kurma luar kualitas baik. Jadi, masalah kualitas tidak menjadi ukuran.
b)      Barang satu kelompok tapi berbeda jenis, boleh saling melebihkan tapi harus dari tangan ke tangan (tunai/yadan bi yadin).
c)      Berbeda kelompok, boleh tafadlul dan boleh nasi’ah.

Dalam lembaga keuangan konvensional, riba nasi’ah terdapat pada pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dll. Pihak lembaga, mensyaratkan kepada peminjam untuk membayar bunga yang besarnya ditetapkan terlebih dahulu di awal transaksi, padahal si peminjam tidak mendapatkan keuntungan yang pasti, yang bisa untung, rugi ataupun impas.
Sementara menurut Afzalur Rahman, sesuatu dikatakan riba apabila mengandung tiga unsur .
a.         Biaya atau kelebihan dan kelebihan atas modal pinjaman
b.         Ketentuan besarnya tambahan dikaitkan dengan jangka waktu
c.         Tawar menawar mengenai syarat pembayaran tentang besarnya kelebihan uang dilakukan pada kreditor.

Riba itu sendiri dalam Al-Qur’an dilarang secara bertahap, disesuaikan dengan kondisi masyarakat arab waktu itu:
Tahap Pertama
Menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada lahirnya seakan-akan menolong mereka yang membutuhkan, dan sebagai media taqarrub kepada Allah.
Tahap Kedua
Riba digambarkan sebagai suatu hal yang buruk, dan Allah mengancam akan memberikan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Tahap Ketiga
Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Karena pada masa itu, bunga pinjaman yang sangat tinggi dibebankan kepada mereka yang tidak mampu membayar pada waktunya.
Tahap Keempat
Dengan jelas dan tegas Allah mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman, dan Allah menyatakan perang terhadap para pengambil riba. Dapat dilihat pada QS. Al-Baqarah:278-279.
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279}
Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Alllah dan tinggalkanlah sisa riba {yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa-sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rosulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba)) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya
(5)     Maysir (perjudian). Yaitu suatu permainan yang memposisikan salah satu pihak harus menanggung beban pihak lain akibat permainan tersebut. Setiap permainan atau transaksi yang mengandung unsur zero sum game yang satu untung yang lain rugi/kalah dilarang dalam Islam.
(6)     Risywah (suap menyuap) yaitu memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya dan orang lain yang berhak menjadi hilang haknya. Risywah terjadi meskipun dengan kerelaan masing-masing pihak. Namun, jika satu pihak dipaksa untuk memberikan sesuatu agar apa yang menjadi haknya segera didapat, tidak tersebut sebagai risywah, tapi tindak pemerasan. Termasuk suap-menyuap adalah pemberian hadiah kepada pejabat yang kalau pihak yang diberi bukan pejabat, ia tidak akan mau memberikan hadiah itu. Demikian juga dengan pengelola BMT, pemberian hadiah dari  nasabah bisa disebut sebagai tindakan risywah (baik sebelum atau sesudah pencairan pembiayaan), karena kalau ia bukan karyawan BMT, nasabah biasanya tidak akan memberikan apapun.
3)        Haram Karena tidak Sah/Lengkap Akadnya
Suatu transaksi belum tentu halal meskipun tidak haram secara dzati dan tidak haram secara bukan dzati (haram li ghairihi), karena ada kemungkinan haram dari sisi ketidaksahan atau ketidaklengakapan akadnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar